(Cerpen) Kisah Tukang Sol
Hari kian gelap saja. Senja telah habis meninggalkan pecintanya.
Seorang bapak memarkirkan sepeda onthel di halaman masjid. Sepedanya penuh muatan. Ada payung yang bersandar. Mungkin buat jaga-jaga kalau hujan. Ada benang-benang yang terurai. Sepatu dan sendal tertata dalam kotak box dibelakang sepeda.
"Assalamu'alaikum Mas". Sapanya lirih dan sejuk. Sembari tersenyum beliau menjulurkan tangan menyalamiku.
"Wa'alaikumsalam Pak".
"Mau istirahat dulu mas disini. Boleh kan Mas?"
"Boleh, boleh Pak silakan. Mari cari tempat yang enak dan nyaman Pak".
Kami mencari tempat yang nyaman buat bercengkerama. Beliau memperkenalkan diri, pak Rahmat namanya. Kami bercakap-cakap.Beliau seorang tukang jahit sepatu dan sendal. Tapi beliau juga menerima perbaikan barang-barang lainnya, payung yang rusak dan peralatan dapur lainnya. Orang-orang lebih suka memanggil tukang sol. Dia mampir di mesjid buat melepas lelah. Wajahnya kelihatan tua, meski ku taksir usianya 45 tahunan. Dia sungguh sederhana.
Kulihat raut wajahnya kliatan tenang. Serasa tanpa beban begitu. Sabar menerima apa adanya. Kami berkenalan, kemudian kian hangat obrolan kami. Dia berasal dari keluarga orang berada sebenarnya. Namun entah kenapa dia milih jalan seperti ini. Beliau juga berasal dari keluarga baik-baik. Ayahnya seorang TNI. Sikap yang disiplin dan keras dari sang Ayah membuatnya tak tahan. Ia pun memilih jalan sendiri, keluar dari rumah mencari makna hidup. Sekian waktu berlalu tak mengira jadi seperti itu. Tragedi hidup manusia berbeda-beda. Ada yang mujur ada yang terbujur. Ada yang sukses ada yang masih dalam proses. Semua tergantung individunya masing-masing, saya kira. Pun juga tidak mengabaikan takdir atau kuasa Tuhan. Yang kutahu bapak ini tegar sekali menjalaninya. Seolah hidup ini terasa nikmatnya.
Datang seorang ibu yang ingin menjahitkan sepatu anaknya yang robek. Sepatu anaknya buat sekolah esok harinya. Senyum selalu terkembang. Tak ada rasa sedih atau menelan penderitaan kulihat. Melayani dengan hati betul.
"Ini Buk, sudah selesai semua".
"Berapa Pak ongkosnya?".
"Terserah Ibu saja. Saya ikhlas menerimanya".
Si ibu merogok kantong bajunya. Ada selembar uang sepuluh ribu dan langsung begitu saja diserahkan kepada bapak tukang sol. Niatnya mau ngasihkan kembalian tapi si ibu menolaknya. Yah, sudah rejeki ga akan kemana batinku. Si ibu senang, sang anak pun riang.
"Terima kasih banyak, semoga lancar segala urusan Ibu".
"Sama-sama Pak, semoga juga lancar usaha Bapak".
Beliau melanjutkan ceritanya. Pak Rahmat sudah memiliki istri dan seorang anak. Pak Rahmat sendiri pergi mencari nafkah berhari-hari ke beberapa daerah.
"Oh jadi istri dan anak bapak ditinggalkan begitu?".
"Iya Mas".
"Biasanya berapa lama bapak pulang kerumah?".
"Ya ga pasti mas, kadang 7 hari kadang 10 hari. Paling lama sebulan baru pulang kerumah".
"Wah!".
"Apa bapak ga kasihan sama istri dan anak Bapak?".
"Ya gimana lagi Mas, sudah begini ya jalani saja".
Beliau tinggalkan keluarganya demi mencari nafkah. Untuk beberapa hari ia tinggalkan anak dan istrinya. Sudah terkummpul uang barulah ia pulang melepas rindu. Sungguh terharu aku mendengarkan kisahnya. Berasa nonton sinetron di televisi. Selain menontonkan glamour kehidupan, si kaya dan si miskin, pergaulan di kota-kota besar juga menampilkan potret kisah kehidupan manusia pinggiran. Sama seperti yang aku jumpai didepanku ini. Ini kisah nyata, real!. Betapa masih banyak orang yang kesulitan mencari segenggam beras. Harus rela mengorbankan waktu buat keluarga.
* * *
Agaknya malam ini ada segurat wajah rindu. Tergurat dalam dahi dan kerutan wajah pak Rahmat.
Beliau mengeluarkan bekal nasi yang dibungkus kertas plastik. Ala kadarnya, sungguh sederhana banget. Cuman nasi dan beberapa lauk tempe kering dan serundeng. Beliau makan dengan pelan. Sedikit sekali ia makannya. Nasi sengaja tidak dihabiskan buat bekal esok hari katanya. Duh aku terkejut dan terheran saja dibuatnya. Ada saja di dunia orang seperti pak Rahmat ini. Aku semakin heran dengan liku-liku kehidupan manusia. Andai saja itu adalah aku, bagaimana bisa aku harus merasakan pahit getir seperti yang pak Rahmat rasakan. Berkaca dari kisah pak Rahmat ini, aku masih bisa bersyukur diberi kemudahan dalam urusan rejeki.
"Ya Allah, mudahkanlah urusan pak Rahmat ini. Lancarkan rejekinya. Barokahilah Ya Allah". Dalam hati berdoa. Air mataku jatuh. Kupalingkan muka buat menyekanya.
"Ini pak ada air putih". Kusodorkan gelas dan porong berisi air putih.
Kuperhatikan seksama cara ia bertutur kata dan cara makannya. Sepeda dengan seabrek peralatan yang menempel dibelakang memenuhi kotak kepalaku. Senyum manis selalu terpancar. Menatap hari esok dengan segumpal harapan.
Berharap dapat suatu pelajaran darinya.
Malam telah menyeret kami beradu dingin. Pukul 9 malam yang tertera pada jam dinding. Kami masih asyik betukar pikiran. Bercerita mengenai diri masing-masing.
Malam telah menyeret kami beradu dingin. Pukul 9 malam yang tertera pada jam dinding. Kami masih asyik betukar pikiran. Bercerita mengenai diri masing-masing.
"Terima kasih banyak Mas sudah membantu saya".
"Membantu apa to Pak. Biasa saja kok. Bukankah kita memang harus saling tolong menolong Pak?".
"Iya Mas, betul. Tapi saya malah jadi merepotkan Mas".
"Udah malem ni Mas. Mari istirahat dahulu. Biar besok saya bisa cari rejeki lagi".
"Iya Pak, mari Pak".
Kupersilakan saja pak Rahmat masuk dalam mesjid. Kami menjemput mimpi masing-masing.
Jakal KM 14 Jogjakarta, 03 April 2012
*) Ekohm Abiyasa
Ini adalah sepenggal kisah nyata dari pertemuanku dengan sorang tukang sol sepatu. Aku lupa namanya juga daerah ia berasal. Seingatku dia berasal dari daerah Jawa Barat dan istrinya orang Sragen, Solo. Ingat pula tentang pengalaman dia berkelana dari rumah, mengembara mencari yang ia mau. Pernah akrab dengan kekerasan/preman. Pernah akrab pula dengan dunia santri. Itu yang kuingat tentang kisah seorang tukang sol. Dan saya rasa tidak sepenuhnya benar. Karena aku benar-benar lupa kejadian yang sebenernya.
0 komentar:
Post a Comment